Thursday, September 10, 2009

Perbankan : Keganjilan Pengucuran Bailout

SUARA PEMBARUAN

2009-09-10Keganjilan Pengucuran “Bailout”

Kasus Bank Century (Kedua dari Tiga Tulisan)

Skandal Bank Century yang menyedot dana publik hingga Rp 6,762 triliun, sebenarnya bermuara pada satu pertanyaan kunci: layakkah bank tersebut diselamatkan?

Meski demikian, pertanyaan tersebut telah memicu polemik panas. Apalagi Wapres Jusuf Kalla bersuara keras terhadap kasus ini, yang disebutnya sebagai perampokan. Wapres pun seketika menginstruksikan Polri agar menangkap Robert Tantular, sang pemilik Century.

Namun, Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) bersikukuh adanya potensi dampak sistemik apabila Century dibiarkan mati atau dilikuidasi. Bagi mereka yang berbeda pandangan dengan assessment BI perihal potensi sistemik itu, tentu merasa heran. Bagaimana mungkin bank dengan total aset Rp 6,6 triliun bisa berdampak sistemik sehingga perlu diberi dana talangan (bailout) sedemikian besar? Mengapa bank yang menggendong masalah sejak awal dan dibayangi aksi penggelapan oleh manajemen dan pemilik tidak dilikuidasi?

Sebaliknya, kalangan yang pro dengan keputusan pemerintah, menilai suntikan bailout sudah tepat. Situasi perekonomian menjelang akhir 2008 sangat tidak kondusif. Risiko meningkat seiring dengan krisis global.

Berdasarkan estimasi bank sentral, jika tidak diselamatkan, pemerintah harus menanggung beban kerugian sekitar Rp 30 triliun. Penyebabnya, dampak sistemik Bank Century bakal menerpa 23 bank yang sekelas, akibat penarikan dana besar-besaran (rush) oleh nasabah.

Namun, kalangan legislator menolak argumen itu. Menurut Melchias Mekeng Bapa, anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar, Century tidak berpotensi memicu dampak sistemik jika dilikuidasi. “Contohnya Bank Indover di Belanda yang sahamnya dimiliki BI, saat dimintakan tambahan modal Rp 7 triliun dan ditolak, akhirnya ditutup dan tidak ada dampak sistemik,” jelasnya.

Menurutnya, ditilik dari parameter seperti nilai aset, jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun, dan besarnya kewajiban, Bank Century tergolong bank kecil yang tidak bakal memicu dampak sistemik jika ditutup.

Dasar Hukum

Namun, nasi sudah menjadi bubur, KSSK telah menyerahkan Bank Century kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sebagai upaya penyelamatan, bailout Rp 6,762 triliun dikucurkan.

Keputusan pemberian bailout didasarkan pada Perppu 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Perppu itu memberi wewenang kepada BI dan LPS untuk memberi fasilitas pendanaan darurat kepada bank yang kesulitan modal. Namun, pada 18 Desember 2008, DPR sepakat menolak Perppu tersebut disahkan menjadi UU, karena banyak kelemahan, sehingga berpotensi memicu moral hazard.

“Dengan demikian, sejatinya sudah mengerucut pada fakta, bahwa dana yang dikucurkan setelah penolakan DPR atas Perppu 4/2008, tidak memiliki dasar hukum,” tegas Melchias. Perlu diketahui, terjadi dua kali injeksi modal setelah DPR menolak Perppu, masing-masing pada 3 Februari (Rp 1,155 triliun) dan 21 Juli 2009 (Rp 630 miliar).

Selain itu, sambungnya, penolakan DPR atas Perppu otomatis menggugurkan eksistensi KSSK. Padahal, pengucuran bailout, sesuai amanat Perppu, harus atas persetujuan KSSK. “Jika dalam kasus Century terjadi empat kali pengucuran, berarti harus ada empat persetujuan KSSK. Masalahnya, KSSK sudah gugur sejak Perppu ditolak. Jadi jelas bahwa dua kali pengucuran yang dilakukan pada 2009 ilegal,” tegasnya.

DPK Merosot

Kontroversi skandal Bank Century, juga terkait dengan urusan simpanan publik. Selain perilaku tak bertanggung jawab pengurus dan pemegang saham pengendali yakni Robert Tantular, data BI menyebutkan rush telah terjadi sejak Juli 2008. Hal ini membuat nilai aset, terutama pada sisi pasiva, yakni DPK turun begitu cepat. Tak ayal, Bank Century pernah mengalami gagal kliring dan harus menerima fasilitas pembiayaan jangka pendek (FPJP) dari BI senilai Rp 689 miliar pada 14 dan 18 November 2008.

Saat itu, atau sebelum LPS masuk ke Bank Century, PT Jamsostek (Persero) salah satu deposan besar mengaku sudah tidak bisa menarik dananya, karena likuiditas bank sudah mengering. Jadi tidak heran bila ekuitas Bank Century negatif Rp 6,778 triliun ketika LPS resmi mengambil alih. “Bagaimana mau tarik, mereka (Century) tak ada dana,” seru Hotbonar Sinaga, Dirut Jamsostek.

Nilai deposito Jamsostek di Bank Century tak lebih dari Rp 300 miliar. Ketika ditanya apakah Jamsostek menarik dana ketika LPS masuk, Hotbonar mengamininya. Namun, yang ditarik tidak seluruhnya, hanya berkisar Rp 100 miliar.

Sisanya masih tersimpan di Bank Century hingga penarikan terakhir pada 31 Agustus 2009. Hotbonar menambahkan, di samping nilai kecil, Jamsostek ternyata sudah mengantongi jaminan verbal dari LPS, sehingga tidak keberatan menyimpan dananya sedikit lebih lama. “Ke depan, kalau ada jaminan tertulis lagi, kami bisa saja tempatkan deposito di sana,” canda Hotbonar.

Terkait hal itu, ekonom yang juga pakar kebijakan publik, Ichsanuddin Noorsy menuturkan, saat pengambilalihan oleh LPS pada 21 November 2008, struktur DPK di Bank Century tercatat Rp 5,2 triliun masuk skema penjaminan, dan Rp 4 triliun sisanya tak masuk skema penjaminan karena nilainya melebihi Rp 2 miliar per rekening. Dari Rp 4 triliun itu, sekitar Rp 1,4 triliun dimiliki sekitar 5.000 nasabah. Sedangkan Rp 2,6 triliun yang tersisa milik beberapa deposan besar.

Ichsanuddin secara tegas menuding ada ketidakjelasan pada data DPK yang menjadi bahan assessment bank sentral, sehingga ikut menyebabkan membengkaknya dana bailout. Dia juga khawatir, kalau para deposan besar melancarkan jurus negosiasi dengan otoritas terkait, agar dananya yang terjamin tetap selamat.

Pada akhirnya, audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang rencananya dimulai Oktober mendatang, bakal memainkan peran penting agar skandal penyelamatan Bank Century terang benderang. Apalagi skandal itu menohok Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang disebut-sebut bakal dipertahankan di kabinet mendatang, serta Boediono, yang sebulan lagi mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono menjadi dwi tunggal pemimpin negeri ini lima tahun ke depan. Sungguh akan sangat mencoreng citra Pemerintahan SBY-Boediono, jika audit investigasi BPK menemukan penyimpangan prosedur sehingga penyelamatan Century terbukti dipaksakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Secara gamblang publik bisa menangkap peran dua tokoh sentral di balik keputusan penyelamatan Bank Century. Sebagai Menkeu sekaligus Ketua KSSK, Sri Mulyani jelas bertanggung jawab atas keputusan final yang diambil KSSK untuk mengambil alih Century dan kemudian menggelontorkan dana Rp 6,762 triliun.

Meski demikian, keputusan itu bukanlah domain KSSK atau Menkeu semata, melainkan pasokan assessment dari BI selaku otoritas pengawas perbankan. Dalam hal ini, jelas Boediono sebagai Gubernur Bank Central kala itu patut bertanggung jawab atas hasil assessment yang dikeluarkan bawahannya, terutama potensi dampak sistemik yang mendasari keputusan KSSK. Di pihak lain, Boediono juga duduk di KSSK, yang bersama-sama Sri Mulyani menetapkan pengambilalihan Bank Century oleh LPS.

Audit BPK harus dimulai dari perjalanan kinerja Bank Century, masuk pada assessment BI, lantas melangkah pada dasar hukum bailout dan besaran dana talangan yang fantastis. Dalam audit investigasi tersebut, diharapkan dapat menyinggung efektivitas pengawasan bank sentral terhadap bank hasil merger Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC tersebut.

Hal yang penting pula, audit BPK bisa mengklarifikasi benar tidaknya ada intervensi politik dalam skandal Century, perlu tidaknya Bank Century diselamatkan, dan benar tidaknya potensi dampak sistemik jika bank itu dilikuidasi. [RRS/N-6/A-17]

[Via http://jakarta45.wordpress.com]

No comments:

Post a Comment