Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:11 WIB
Jakarta, Kompas – Di hari terakhir masa jabatannya, DPR periode 2004-2009 mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 menjadi Undang-Undang APBN 2010.
Anggaran tahun 2010 itu disusun dengan fokus mengantisipasi terjadinya tekanan pasar keuangan global, yang bisa membuat Indonesia kesulitan memperoleh dana segar.
Oleh karena itu, menurut Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, target penerbitan surat berharga negara neto ditetapkan Rp 104,43 triliun, naik tipis dari target tahun 2009, yakni Rp 102,1 triliun.
”Penerbitan surat utang oleh negara maju untuk membiayai stimulus fiskal dan perbaikan sektor perbankan pascakrisis ekonomi global tahun 2008 dan 2009 akan menyebabkan terjadinya crowding out, atau kompetisi memperebutkan sumber pembiayaan defisit,” ujar Sri Mulyani, seusai Sidang Paripurna DPR di Jakarta, Rabu (30/9).
Ekspansi moneter di seluruh dunia, lanjut dia, dapat menyebabkan ancaman berupa pembengkakan inflasi pada tahun 2010. ”Itu menyebabkan kecenderungan meningkatnya suku bunga internasional, yang akan menekan biaya penerbitan surat berharga,” kata Menkeu.
Pengalaman Indonesia tahun 2009 menunjukkan, kompetisi mendapatkan sumber dana global membuat pemerintah harus melakukan kesepakatan dengan empat lembaga keuangan dan negara asing, untuk mendapatkan pinjaman siaga 5,5 miliar dollar AS. Sumber dana itu berasal dari Jepang, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Australia.
Namun, hingga kini pinjaman siaga yang terpakai baru 35 miliar yen, atau setara 379,28 juta dollar AS. Sisa pinjaman siaga yang sudah masuk dalam komitmen itu akan disiagakan pada 2010 dan diperpanjang hingga tahun 2011.
Alihkan
Guna mengantisipasi situasi global, Wakil Ketua Komisi XI DPR Endin AJ Soefihara menyarankan pemerintah agar memikirkan kemungkinan mengalihkan kecenderungan berutang di pasar obligasi ke pinjaman reguler, yang bisa didapat dari lembaga keuangan internasional, antara lain Bank Dunia atau ADB.
Menurut Endin, pinjaman yang berasal dari lembaga keuangan internasional menjanjikan suku bunga yang lebih rendah dan persyaratan yang semakin ringan. Selain itu, pemerintah akan dimudahkan saat mengajukan proposal restrukturisasi karena hanya berurusan dengan lembaga keuangan yang jelas statusnya. ”Kalau sekarang difokuskan pembiayaan dari surat utang, pemerintah direpotkan urusan dengan pelaku pasar yang banyak jumlahnya,” ujar Endin.
Tahun 2010, pemerintah berencana melunasi utang Rp 115,594 triliun, yaitu bunga utang dalam negeri Rp 77,436 triliun dan Rp 38,157 triliun untuk membayar bunga utang luar negeri, termasuk bunga pinjaman Bank Dunia dan ADB.
Data Ditjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan hingga Juli 2009 menunjukkan total utang pemerintah pusat Rp 1.585 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri 62,99 miliar dollar AS dan penerbitan surat berharga negara 96,87 miliar dollar AS. (OIN)
PERUBAHAN IKLIM Keuangan Negara Berkembang Bisa TerkurasKOMPAS, Kamis, 1 Oktober 2009 | 03:37 WIB
Bangkok, Rabu – Negara- negara berkembang bakal menghabiskan 100 miliar dollar AS (Rp 1.000 triliun) per tahun selama 40 tahun untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan cuaca yang ekstrem dan berat. Pada tahun 2050, suhu bumi diperkirakan naik di atas 2 derajat celsius.
Hal itu terungkap dari hasil studi Bank Dunia yang dirilis, Rabu (30/9). Studi tersebut mengatakan, negara-negara miskin bakal berinvestasi besar-besaran pada semua proyek infrastruktur untuk mengatasi banjir, kekeringan, gelombang panas, lebih sering hujan seiring bakal naiknya suhu bumi 2 derajat celsius pada tahun 2050.
”Menghadapi prospek besar tambahan biaya infrastruktur, mengatasi kekeringan, penyakit, dan penurunan dramatis dalam produktivitas pertanian, semua negara berkembang harus bersiap menghadapi sejumlah konsekuensi potensial dari perubahan iklim,” kata Katherine Sierra, Wakil Presiden Bank Dunia yang membidangi pembangunan berkelanjutan.
Prakiraan biaya adaptasi dari kelompok lain sebelumnya dari 9 miliar dollar AS jadi 104 miliar dollar AS. Bank Dunia mengatakan, proyeksi biaya terbaru yang paling mendalam analisisnya justru terhadap waktu terjadinya dampak perubahan iklim.
Laporan Bank Dunia, yang memberikan kisaran biaya dari 75 miliar dollar AS menjadi 100 miliar dollar AS didasarkan pada dua skenario berbeda. Pertama, dunia yang lebih kering akan memerlukan investasi lebih rendah ketimbang dunia pada musim hujan. Kedua, dunia pada musim hujan memerlukan berbagai upaya ekstra, seperti membangun tanggul laut dan drainase lebih dalam.
Paling terpukul
Asia Timur dan Pasifik, yang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat cepat, akan menjadi yang paling terpukul secara finansial, menghabiskan setidaknya seperempat dari total anggaran. ”Sebagian besar karena meningkatnya urbanisasi, terutama di daerah pesisir,” kata Direktur Keuangan Bank Dunia Warren Evans.
Menurut penelitian, biaya beradaptasi terhadap dunia yang lebih panas adalah berada pada skala yang sama dengan jumlah bantuan yang diterima negara berkembang saat ini. Badan bantuan mengatakan, penting uang bantuan tidak dipotong untuk mendanai upaya atau inisiatif menghadapi perubahan iklim.
Penasihat Oxfam’s, Antonio Hill, menuturkan, setiap pembiayaan harus mendapat suntikan dana tambahan. WWF mengatakan, tidak cukup didasarkan pada asumsi bahwa dunia akan bekerja sama untuk membatasi kenaikan suhu bumi 2 derajat celsius itu. (REUTERS/CAL)
No comments:
Post a Comment