Yudhie Haryono
Politikana.com
Mungkin sebuah kebetulan, atau agar kita kembali belajar. Ketika Prof. Sarbini Sumawinata meninggalkan kita semua, Prof. Widjojo Nitisastro meluncurkan dua bukunya sekaligus. Kita tahu, kedua profesor ini pada awalnya merupakan staf pribadi Presiden Soeharto pada awal Orde Baru dibentuk. Menurut Prof. Soebroto [2007:34], sejak tanggal 12 September 1966, keduanya diminta memberi masukan pada pemerintah berkenaan dengan nasib negara ke depan pasca tumbangnya Orde Lama. Sayangnya, keduanya kemudian menemukan dunia yang berbeda. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya nanti, Widjojo menjadi andalan dan kepercayaan Presiden Soeharto, sebaliknya Sarbini berada di ujung berbeda karena sangat kritis pada pemerintah.
Jika pemikiran Sarbini beririsan dengan sedikit ekonom semisal, Prof. Mubyarto, Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Subiakto Tjakrawerdaja, Adi Sasono, Muslimin Nasution, Tawang Alun, Revrison Baswir, Iman Sugema, Hendri Saparini, Rizal Ramli, Bini Buchory, Ichsanudin Nursi, Tobi Mutis, dan Bustanil Arifin. Sebaliknya, Widjojo punya pengikut yang menyebar di hampir tiap departemen yang beririsan dengan ekonomi. Dalam disertasi Rizal Mallarangeng [1999], Widjojo kemudian menjadi salah satu begawan ekonom pembaharu-liberal terkemuka—sebagai kompetitor dari ekonom kerakyatan/Pancasila—yang berhasil menegakkan liberalisasi pembangunan ekonomi nasional. Widjojo kemudian disebut sebagai “Don Barkeley” yang sangat berpengaruh karena melahirkan sejumlah kader yang secara bergantian duduk di kabinet dan pemerintahan Presiden Soeharto.
Di antara ekonom yang pemikirannya beririsan dengan Widjojo adalah, Ali Wardana, Emil Salim, Mohammad Sadli, Subroto, Rachmat Saleh, Arifin Siregar, Radius Prawiro, JB Sumarlin, Saleh Afif, Soedrajat Djiwandono, Adrianus Mooy, Radinal Mochtar, Bustanul Arifin, Ginanjar Kartasasmita, Purnomo Yusgiantoro, Boediono, Sri Mulyani, Mari Pengestu.
Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberi kesempatan akademis bagi generasi selanjutnya. Sebut saja, Iwan Jaya Aziz, Barli Halim, Wagiono Ismangili, Sri Adiningsih, Rizal Mallarangeng, Ikhsan, Chatib Basri, Lie Cin Wei, The Kian Wie, Anggito Abimanyu, Arsjad Anwar, Aris Ananta, Ari Kuncoro, Zulkiflimansyah, dkk.
Para kader Widjojo nanti dikenal sebagai mafia atau geng Berkeley. Mereka membentuk jaringan pemikir neolib hasil didikan alumni Universitas Berkeley, California. Dalam sejarahnya, kelompok “Mafia Berkeley” tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif di kawasan Asia. Bahkan, David Ransom (1970), menggolongkan kelompok ini sebagai mereka yang tercekoki ilmu pengetahuan liberal dalam rangka peng-Amerika-an, ketika mereka belajar di Berkeley dan universitas lain seperti Cornell, MIT, dan Harvard atas biaya dari The Ford Fondation.
Dalam prakteknya para ekonom ini meniti karirnya dengan mengembangkan jaringan internasional yang sangat kuat dan meluas seperti USAID, IMF, Bank Dunia, dan ADB. Lalu digerakkan dengan WTO dan GATT. Sementara di tanah air, jejaring mereka diperluas melalui lembaga-lembaga seperti LPM UI dan Freedom Institute. Lembaga-lembaga ini menopang gagasan ekonomi neolib melalui beberapa kegiatan riset, penerbitan buku, seminar-seminar, pemberian award/penghargaan, pelatihan-pelatihan bahkan penyediaan beasiswa secara signifikan.
Tidak mengherankan nantinya jika produk hasil riset dan penelitian serta rekomendasi kebijakan [policy pappers] mereka sejalan dan seirama dengan rekomendasi para ekonom liberal yang bermarkas di Washington. Akhirnya, ibarat masakan, resep neolib sudah lengkap diracik di Indonesia dan disinergikan dengan Washington Plan, lalu disajikan secara apik, lezat dan ready to use ke seluruh pengambil kebijakan dan rakyat Indonesia.
Lalu, apa sejatinya agenda ekonom neolib di Indonesia? Mengacu pada definisinya, neolib adalah madzab ekonomi yang beriman pada fundamentalisme pasar dengan filosofi ekonomi-politik mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah [state] dalam ekonomi domestik. Paham berpijak pada perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.
Ekonomi neolib berangkat dari asumsi dasar bahwa pasar merupakan pengambil keputusan yang paling sah berdasarkan hak kepemilikan individu. Karena itu prakteknya, madzab neolib bergerak dalam praksis the rule of the market, anti subsidi, deregulasi, privatisasi sehingga kesejahteraan bersama [welfare state-society] bukan tujuan, sebaliknya hanya sebagai akibat. Mereka menolak gotong royong dan kebersamaan dalam pengelolaan, kepemilikan dan tanggungjawab bersama dalam kebangkrutan, kepailitan bahkan kemiskinan.
Karena itu lanjutannya adalah kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme cenderung diikuti dengan gejala lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk yang lebih ekstrem. Apabila liberalisme klasik lebih menitikberatkan pada globalisasi pasar, maka neolib menitikberatkan pada globalisasi kapital. Liberalisme klasik ala Adam Smith itulah yang kemudian menelurkan imperialisme di tanah Asia hingga Afrika, yang dikenal dengan kolonialisasi. Sedangkan, neolib menelurkan imperialisme yang diperbarui, yakni kapitalisme global.
Dalam prakteknya kemudian, IMF dan Bank Dunia dikenal sebagai dokter spesialis yang punya resep yaitu liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan, perdagangan, pendidikan, kesehatan, politik, sosial bahkan agama. Mengutip tesis Susana Sattoli (2000), resep liberalisasi dan deregulasi tersebut menjelma menjadi empat pilar utama. Keempatnya adalah 1). Kompensasi bagi biaya sosial dalam rangka restrukturisasi makroekonomi, 2). selektivitas pengeluaran biaya, 3). privatisasi pelayanan dasar, dan 4). desentralisasi sebagai tanggung jawab negara.
Di Indonesia, keempat ajaran neolib sudah lama dijajakan pada pemerintah, terutama sejak orde baru. Tetapi mulai menjadi acuan suci dan diterapkan sejak krisis moneter tahun 1997. Sejak saat itu, IMF memaksakan kebijakan “reformasi struktural” kepada Pemerintah Indonesia, sebagai jawaban atas pembangunan ekonomi yang menguatkan kapasitas pemerintahan Orde Baru. Reformasi ekonomi ini berisi liberalisasi sektor keuangan, yang mencakup pengurangan anggaran publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pupuk, bahan bakar minyak, listrik, hingga deregulasi perdagangan.
Kebijakan-kebijakan ekonomi neolib masih berlanjut di masa reformasi, bahkan semakin menggila. Pada pemerintahan SBY-JK, ekonom neolibpun semakin menancapkan kukunya. Walau sejak awal, banyak kalangan optimis dan berharap dengan menilik desertasi SBY yang pro-poor dan pertanian, namun hal itu pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neolib. Setelah berjalan selama empat tahun lebih, banyak kebijakan pemerintah yang pro-pelaku bisnis daripada pro-rakyat. Lucunya, dalam praktek ekonomi neolib, banyak perusahaan yang ketika bangkrut meminta pertolongan pemerintah, tetapi ketika jaya, mereka lupa bayar pajak. Kasus BLBI, UUPA, UU-Air, UU Migas, UU BHP dan Lapindo merupakan bukti tak terbantahkan tentang praktek ekonomi neolib di pemerintahan SBY-JK.
Semakin hari para ekonom neolib semakin kuat dan tangguh karena topangan sumberdaya manusia, modal, jaringan nasional dan internasional yang luas. Proyek terbesar mereka adalah menempatkan Indonesia bukan sebagai sebuah kesengajaan. Meminjam hipotesa B-Harry Priyono [2006], para agen neolib meletakkan negara Indonesia sebagai akibat dari bekerjanya pasar berkelanjutan. Inilah logika pasar mengatasi segalanya, mengatasi Indonesia dan seribu problemnya.
Kekuatan ini semakin luas-menggurita juga karena para ekonom kerakyatan/Pancasila mulai hidup tidak sebagai “barisan.” Mereka membiarkan idealisme kerakyatan ditenggelamkan oleh amuk dan hempasan globalisasi. Meminjam terminologi Perkins [2005], mereka membiarkan negara dikelola oleh para economic hitman yang lebih peduli pada tuan di luar negeri dan bersengaja membiarkan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Akankah ini menjadi babak penegasan NKRI sebagai negara kuli republik Indonesia? Sepertinya iya.[]
SBY-Boediono : Neoliberal/Kerakyatan/Kerakyatan Pro Pasar?Kucing Neolib
Politikana.com, Kamis, 28 Mei ‘09 10:47
Sedikit menambahkan mengenai diri presiden SBY yang sekarang lagi ramai-ramainya dituduh sebagai Neolib. Ini saya dapatkan dari jurnal Manajemen Usahawan Indonesia No2 th XXXVI Februari 2007 hal 20 dengan judul MEMBANGUN EKONOMI KERAKYATAN karangan Prof Dr.Akhmad Syakhroza. Disini saya cuma mengutip paragraf awal dari jurnal beliau, sisanya bisa dibaca sendiri , tapi sedikit banyak dari paragraf awal ini kita bisa tahu apa garis besar dari jurnal tersebut.
“Kita semua berkeinginan Ekonomi Kerakyatan bisa tumbuh kembang sebagai tulang punggung Ekonomi Nasional, tentu dengan tetap memberi memberi peran kepada ekonomi pasar. Dengan struktur penduduk Indonesia yang dominan berperan di sektor pertanian dan pernelayanan maka menggerakkan potensi kekayaan alam adalah sangat penting. Apabila kita cermati secara jernih, maka sesungguhnya presiden SBY telah menjalankan ekonomi kerakyatan yang pro pasar, konsisten dengan platform ekonomi sebagaimana ditawarkannya ada kampanye pilpres beberapa tahun yang lalu.
Komitmen ini tergambar secara jelas dari 4 strategi induk pemerintah yaitu :
1)Pro penciptaan lapangan Kerja
2)Pro pengentasan Kemiskinan
3)Pro pertumbuhan ekonomi
4)Pro pelestarian lingkungan
Dua strategi pertama adalah berorientasi kepada ekonomi kerakyatan, sedangkan 2 strategi terakhir adalah lebih berorientasi kepada ekonomi pasar. Berbagai program konkrit yang telah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 antara lain adalah menaikkan harga gaba, subsidi pupuk, subsidi bunga untuk RSS, menaikkan gaji golongan 1 dan 2 bagi pegawai negeri sipil/tentara/polisi, Program BOS, Bantuan Langsung Tunai, Raskin beras untuk rakyat miskin, bantuan Askeskin, pengadaan air bersih untuk rakyat, pembangunan infrastruktur pedesaan. Kita telah mendengar bahwa program ini telah dirasakan secara nyata oleh masyarakat golongan kecil meskipun kita juga melihat praktek-praktek di lapangan masih adanya penyimpangan-penyimpangan”
Di dunia ini memang tidak ada yang putih atau hitam murni, yang ada adalah abu-abu. Jadi jangan mentah-mentah menelan kata-kata para politisi yang asal tuding sistem yang diusungnyalah yang lebih baik.
Mansour Fakih Pelaku Intelektual OrganikYudhie Haryono
Politikana.com
Dari namanya, aku tahu bahwa ia membawa “kedalaman,” baik dalam sikap maupun tindakan. Fakih, adalah nama yang kuat makna: seorang ahli. Tetapi, yang kupahami dari bangsa kita ternyata kehidupan selalu mengambil putra-putra terbaik sewaktu bekerja, satu demi satu: Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, Marsinah dan masih ada beberapa yang kita lupa. Ironisnya, kehidupan bangsa ini menyisakan umur panjang bagi para penjahat, konglomerat hitam, penguasa zalim dan aktifis-pemikir yang kerjanya melacurkan diri demi sekeping rupiah.
Mansour Fakih adalah nama yang tidak asing bagi para aktivis gerakan sosial di Indonesia, bahkan di tingkat internasional. Bagiku dan kawan-kawan di lembaga Nusantara Centre, Fakih adalah teladan dan guru. Terakhir, ia dipercaya menjadi anggota Komite Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Fakih kemudian dipilih sebagai anggota Helsinki Process, suatu forum tingkat internasional yang diprakarsai oleh Kementrian Luar Negeri Finlandia, beberapa negara Selatan dan organisasi non pemerintah (ORNOP) Internasional, untuk mengupayakan jalan keluar masalah globalisasi. Di lembaga Helsinki Process, wakil dari Asia hanya ada dua orang, dan salah satunya Fakih dari Indonesia.
Aku mengenalnya di awal tahun 2000. Saat itu, sebagai pendiri LSM Nusantara Centre, kami sering menghadiri pertemuan-pertemuan aktifis LSM di beberapa tempat. Kita bicara banyak isu strategis. Mulai dari kerusakan alam raya, KKN, civil society dan kemandirian bangsa. Dari aktifis LSM yang paling getol bersuara tentang HAM dan persamaan gender adalah Mansour Fakih. Mungkin karena dia anggota Komnas HAM dan penulis buku Analisis Gender. Yang jelas, pikirannya jernis, sederhana, mau berbagi dan mudah bergaul walau jam terbangnya sudah luas. Selanjutnya, perkawananku dengannya lebih dikuatkan oleh Pak Habib Chirzin [anggota Komnas HAM dan mantan Ketua DPP Pemuda Muhammadiah], ustadku yang sering kudatangi rumahnya untuk diskusi atau sekedar berbagi roti.
Setelah lama dan sering berdebat, aku punya kesimpulan dan kekaguman. Simpulku sederhana, Fakih memang ilmuwan yang “dalam” dan membumi. Sebab, berbeda dengan kebanyakan kaum intelektual di Indonesia, Fakih tidak tumbuh dari laboratorium yang sepi dan menara gading intelektual yang angkuh. Ia tumbuh dari persekutuan dan dialektika teori plus praktek, dari ide plus aksi. Kagumku karena Fakih memiliki dua gelar (master dan doktor) yang diraihnya di University of Massachusetts, Amerika Serikat, tetapi tidak membuatnya besar kepala dan sibuk dengan kemewahan intelektual. Ia menempatkan gelar sekolahnya sebagai alat untuk memperjuangkan apa yang diimaninya. Baginya, idealisme tanpa ilmu kosong, dan ilmu tanpa idealisme mubazir.
Sekolah Fakih dimulai di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta [sekarang UIN], Fakultas Ushuluddin. Saat itu, IAIN Jakarta adalah lahan subur bagi pemikiran pembaharuan keagamaan dalam Islam, khususnya rasionalisme teologi yang diprakarsai oleh rektornya masa itu, Harun Nasution. Sebagai murid Profesor Nasution, Fakih aktif dalam pergulatan pemikiran ini dengan kawan-kawan seangkatannya, antara lain, Fahry Ali, Bahtiar Efendy, Helmi Ali Yafie, Hadimulyo, Azyumardi Azra, dan Komaruddin Hidayat. Gerakan intelektual di IAIN Jakarta itu makin marak oleh tradisi pergulatan intelektual muda Islam beberapa angkatan sebelumnya yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid dan Achmad Wahib di IAIN Jogjakarta. Ketika sebagian besar kawan-kawan Fakih masa itu kemudian lebih membawa pergulatan pemikiran mereka ke aktivitas politik, seiring dengan semakin maraknya gerakan-gerakan mahasiswa menjelang akhir 1970-an, Fakih justru lebih memusatkan aktivitasnya pada proses-proses pendidikan bagi para mahasiswa angkatan sesudahnya. Dan, di sinilah ia kemudian berjumpa dengan beberapa mahasiswa yang lebih yunior, antara lain, Saleh Abdullah, yang kelak tak dapat dipisahkan dalam hampir semua kegiatan dan kehidupan Fakih. Mungkin pilihan menjadi pendidik adalah kesimpulan Fakih tentang modal sosial dan kapital yang harus disiapkan oleh para politisi—yang ia sendiri merasa tak ada. Karena itu, menjadi guru dan aktifis sosial adalah pilihan jernih tanpa harus dipusingkan oleh patronase dan kapital serta tak harus mendefisitkan moral dirinya.
***
Sewaktu aku nyantri di Gontor, sangat terkenal di angkatanku bahwa yang berasal dari Bojonegoro dan Aceh biasanya pintar: nilai dan hapalannya bagus. Akankah, kepintaran dan kedalaman ilmu pengetahuan Fakih juga karena lahir di Bojonegoro? Hanya Tuhan yang tahu. Memang, Fakih dilahirkan di Bojonegoro, Jawa Timur, pada tanggal 10 Oktober 1953. Puncak kehidupannya adalah saat ia memiliki hipotesa bahwa gerakan sosial di Indonesia harus dibangun meski swadaya sehingga tak bergantung pada negara. Tetapi, sebelum sampai pada hipotesa itu, Fakih mulai menggumuli wacana rasionalisme Islam dengan serius. Akhirnya, Fakih berkesimpulan bahwa banyak orang di Indonesia yang beragama dengan pemahaman teologis yang keliru. Agama [Islam] akhirnya berkembang menjadi sesuatu yang dogmatis. Pemahaman Islam yang sekadar menerima agama dan wahyu sebagaimana adanya, akhirnya mengarah pada kejumudan berpikir, terutama di dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari.
***
Tahun tujuhpuluhan diskursus tentang ummat yang mundur memang sedang seksi. Ummat yang bodoh dan terbelakang dengan poisi pinggiran membuat gelisah para aktifis. Banyak aktifis dan pemikir Islam risau: ada apa dengan umat Islam yang terbelakang? Kultur atau strukturkah yang menjadi sebab. Etos atau “kesempurnaan ajaran” yang membuat umat membeku? Inilah tema-tema utama yang hadir dan dicoba jawab oleh kawan-kawan mahasiswa IAIN. Begitu juga dengan Fakih. Ia berusaha menjawab problema itu dengan caranya sendiri.
Fakih merasa tidak ada korelasi antara ajaran agama dengan persoalan yang tengah dihadapi manusia. Agama benar-benar menjadi setumpuk wahyu dan tata tertib yang ketat dan jauh berada di ketinggian langit. Bahkan di Indonesia yang kita hidupi bersama, agama menjadi alat bagi kekuasaan untuk melakukan penindasan dengan diam-diam. Pada fase itulah, Fakih menjadi seorang pemuda yang terpesona dan teguh meyakini pemikiran-pemikiran Mu’tazillah, aliran teologi rasional yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. “Islam adalah rasio. Tanpa rasio, ia bukanlah Islam,” kata Fakih suatu saat ketika bicara dengan kawan-kawannya.
Lulus dari IAIN, Fakih bekerja di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), sebagai seorang petugas lapangan dan peneliti. Saat itu, LP3ES adalah lembaga idola aktifis di luar CSIS. Watak dan programnya yang merakyat tetapi ilmiah adalah penyebab lembaga ini diidolakan. Lembaga ini juga menjadi kawah bagi uji mental dan teori dari aktifis-aktifis muda. Pada waktu itulah fikirannya terganggu oleh realitas yang ditemuinya di lapangan. Saat melakukan tugas pendampingan bagi kelompok masyarakat pengrajin di kawasan Sukabumi Udik, Jakarta Selatan, Fakih menyaksikan bagaimana kelompok pengrajin itu telah bekerja keras dan rajin, barang-barang hasil kerajinan mereka pun cukup laku di pasaran, tetapi mereka tetap saja miskin. Inilah yang sangat mengganggu pikirannya, terus mengusik dan akhirnya membuat Fakih sibuk bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang lebih dulu berada di LP3ES, antara lain, Tawang Alun, Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Ismid Hadad. Terutama dari Dawam Rahardjo, Fakih mulai mengenal pemikiran-pemikiran strukturalisme dalam kajian politik ekonomi, sebagai suatu alat analisis terhadap berbagai permasalahan masyarakat. Pendekatan strukturalis ini semakin diyakini oleh Fakih ketika mulai terlibat dalam kerja-kerja pendidikan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan pelatihan di Lembaga Studi Pembangunan (LSP) yang didirikan oleh beberapa aktivis senior saat itu, antara lain, Adi Sasono, Soetjipto Wirosardjono, Sritua Arief, dan Dawam Raharjo. Kita tahu nanti dalam perjalanannya, empat sekawan ini membidani lahirnya ICMI dan berusaha mempraktekkan ilmu dari LSM di pemerintahan/kampus ketika mereka berkuasa.
Kata Dawam Rahardjo, “saat itu, LP3ES dan LSP ingin memperbarui dan mengembangkan metodologi pendidikan dan pelatihannya. Yang dipercaya untuk ikut membantu itu adalah ‘Kelompok Jayagiri,’ suatu kelompok pelatihan informal yang bermarkas di Pusat Pelatihan Pendidikan Masyarakat di Jayagiri, Lembang, Bandung. Di kelompok ini ada dua orang aktivis dari Volunteer in Asia (VIA), yakni Russ Dilts dan Craig Thorburn, dua orang yang juga sulit dipisahkan dari banyak kegiatan Fakih di kemudian hari. Kelompok Jayagiri waktu itu bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengembangkan metodologi partisipatif (participatory training methodology) yang menggabungkan pendekatan teori kritis Jurgen Habermas dari sekolah Frankfurt, dengan teori-teori analisis sosial struktural, dan dengan teori-teori psikologi dan aksi sosial dari Kurt Lewin.” Pada Fakihlah, gagasan pembaruan metoda pendidikan diserahkan. Fakih kemudian membuat dan mengembangkan terus motode baru pelatihan ini.
Berbekal dengan alat analisis sosial struktural dan metodologi pelatihan partisipatif itulah, Fakih kemudian malang-melintang dalam dunia pendidikan masyarakat. Dalam perjalanan intelektual sekaligus praktik politik semacam itulah, ia kemudian bertemu dengan berbagai kelompok maupun perseorangan yang aktif melakukan proses-proses pendidikan kerakyatan (popular education) dan kerja-kerja advokasi. Fakih bertemu dengan orang-orang seperti Toto Raharjo, Erwin Pandjaitan, Simon Hate, Ahmad Mahmudi, dan Roem Topatimasang. Sederet nama ini adalah orang-orang yang telah cukup lama bergerak di lapis-bawah melakukan kerja-kerja pengorganisasian rakyat (people organizing). Toto dan Simon khususnya telah lama melakukan kerja-kerja pengorganisasian rakyat melalui media kesenian, terutama teater rakyat (popular theatre). Toto dan Simonlah yang nantinya memperkenalkan Fakih dengan seniman dan budayawan produk pondok Gontor, yakni Emha Ainun Nadjib, orang yang kemudian juga banyak menjadi kawan diskusi mengenai teologi Islam. Melalui orang-orang ini jugalah Fakih lebih banyak mengenal langsung pemikiran-pemikiran dan metodologi pendidikan kritis (critical methodology of education) dari Paulo Freire. Fakih kemudian mulai berhubungan pula dengan kelompok intelektual dari kalangan katolik yang banyak menerapkan metodologi pendidikan Freirean, seperti Romo Ruedi Hoffmann dari PUSKAT (Pusat Kateketik) dan Romo Mangunwijaya dari Pastoran Salam, Yogyakarta.
Fakih kemudian membangun komunitas intelektual organik di beberapa kota. Komunitas paling utama adalah Insist dan Pustaka Pelajar di Yogjakarta. Hampir semua buku serius yang ditulisnya diterbitkan penerbit yang didirikannya. Di situ juga Fakih mensuplai data, mengajari teman-temannya survei, mengadakan kontak dengan jaringan dalam dan luar negeri, membuat kurikulum dan menyebarkan virus kemandirian civil society, LSM dan komunitas epistemik pembaharuan agama.
Sayang, umurnya tak begitu panjang. Minggu (15/2/2004), Mansour Fakih meninggal dunia pada pukul 00.05 WIB, lantaran serangan stroke akibat penyakit jantung yang sudah sejak lama diidapnya. Menurut Mas Ahmad Santosa, rekan Fakih di lembaga swadaya masyarakat (LSM) Partnership, almarhum dikuburkan oleh keluarganya setelah sebelumnya disemayamkan di rumah duka di Banjarsari Besi, Sleman, DIY.
Reportase Kompas Senin (16/2/2004) menyebutkan bahwa, “Jenazah tokoh gerakan sosial di Indonesia dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] ini meninggalkan seorang istri, Nena Lam’anah, dan dua putra, yakni Farabi Fakih (22) dan Fariz Fakih (19). Tentu kematiannya adalah kehilangan besar bagi gerakan sosial di Indonesia dan komunitas penegak hak asasi manusia (HAM). Ratusan layanan pesan singkat telepon seluler dan tulisan dilayangkan dari berbagai mailing list internet menyatakan rasa belasungkawa, menyebarkan suasana perkabungan mendalam dari Sabang, Maluku, sampai Merauke, bahkan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Ia adalah teman banyak orang tanpa mengenal suku, agama, kelas sosial, dan sekat-sekat yang dibuat untuk manusia. Romo Mangun (almarhum) adalah salah satu teman dekatnya. Perjalanan pemikiran kritisnya mengenai seluruh wacana globalisasi yang dominan dimulai sejak tahun 1970-an.”
“Saya kira perkembangan gerakan sosial di Indonesia tidak terlepas dari campur tangannya. Dia memberikan seluruh hidupnya untuk itu dengan konsisten,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin KS, dengan suara terbata. “Kita kehilangan anggota Komisi Nasional (Komnas) HAM terbaik. Ia adalah sosok yang konsisten, sederhana, penuh semangat, dan rendah hati. Gagasan dan pemikirannya sangat cemerlang,” kata Salahuddin Wahid, yang juga Wakil Ketua Komnas HAM. Zoemrotin dan Salahuddin berada di tengah ratusan pelayat yang mengantar jenazah almarhum ke tempat peristirahatannya terakhir.
Sejak dirawat di rumah sakit hingga meninggal, keluarga dan teman-temannya secara berganti-ganti berjaga dan berdoa dengan harapan yang hilang-timbul. “Mohon doanya, semoga Tuhan memberi jalan terbaik untuk sahabat kita,” begitu pesan lain yang dikirim Yando Zakaria dan Toto Rahardjo, sahabat almarhum yang bersama-sama membangun Institute for Social Transformation (Insist) di Yogyakarta.
Fakih adalah otak sekaligus ideolog di gerakan kritis bidang pembangunan, lingkungan, pembaruan agraria, kesetaraan dan keadilan jender, kaum cacat, dan lain-lain. Ia pernah menjadi country representative untuk Oxfam UK di Indonesia. Tulisannya bertebaran di berbagai jurnal dan buku agenda reformasi sosial, seperti globalisasi, reformasi pertanahan, pendidikan dan jender. Dua bukunya terakhir adalah, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (2002) yang merupakan refleksi tentang Gramsci, Marx, Foucault dan Freire. Buku lainnya adalah, Bebas dari Neoliberalisme (2003). Karyanya yang paling monumental adalah memperkenalkan pendekatan dan analisis jender secara lebih holistik dan mendalam, khususnya di kalangan para aktivis organisasi nonpemerintah di Indonesia. “Gerakan perempuan berutang kepadanya,” ujar Zoemrotin. Mengomentari kematian karibnya di Komnas HAM, Gus Solah berujar, “Semoga segera muncul Fakih-Fakih baru yang akan mewujudkan cita-cita Mansour Fakih.”
Hidup Tak Cukup Berfikir Dan Menulis
Beberapa buku karya Fakih yang sampai ke tangan pembaca adalah, “Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi.” Diterbitkan oleh Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta (2001). Buku setebal 250 halaman ini ditulis dengan baik sebagai analisa terhadap persoalan pembangunan suatu masyarakat, terutama di negara-negara berkembang. Dalam buku ini, Fakih membeberkan sekaligus membuktikan bahwa pembangunan di Indonesia dan kawasan negara Asia Tenggara gagal. Hal ini terbukti dengan berulangnya krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya secara luas di negara-negara tersebut. Krisis multidimensional yang secara tiba-tiba menyerbu sejak tahun 1997 membuktikan kegagalan paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan.
Secara simplistis orang-orang sering menghubungkan krisis yang melanda Indonesia ini dengan kegagalan pengelolaan pemerintahan, dengan diangkatnya istilah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) untuk menggambarkan pemerintah yang buruk. Fakih berusaha mengungkapkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar kebobrokan pemerintah totaliter: gempuran global. Fakih juga menyatakan bahwa jalan keluar bagi kemelut pembangunan yang berpihak bagi rakyat bawah tidak hanya dapat diselesaikan dengan pembentukan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Perjalanan kelompok reformis yang telah mengawal proses reformasi telah cukup untuk membuktikan bahwa ada sesuatu yang bersifat lebih mendasar dalam soal penyelesaian masalah pembangunan, yaitu paradigma dan metode. Singkatnya, ada jalan salah yang ditempuh pemerintah.
Dengan uraian teoritik yang cukup meyakinkan, Fakih melakukan studi kritis terhadap teori-teori pembangunan dan globalisasi yang menjadi pembimbing arah pembangunan berbagai kalangan di Indonesia: pemerintah, LSM, aktivis sosial, dan sebagainya. Fakih adalah orang yang cukup lama bergelut dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, sejak awal bagian buku ini mengingatkan bahwa ada suatu ideologi tersembunyi yang merasuk dalam teori-teori pembangunan dan globalisasi. Teori ini tidak mudah dibaca oleh sembarang orang, selebihnya diimani sebagai suatu kebenaran.
Dalam kerangka itulah buku ini menjelaskan analisa kritisnya. Pisau analisis yang digunakan Fakih adalah paradigma Thomas Kuhn, yakni bahwa ada suatu tempat berpijak yang mendasari segenap teori-teori itu yang pada tahap akhirnya mampu menentukan pandangan seseorang untuk menentukan sisi-sisi suatu program sosial. Dan, patut diingat bahwa suatu paradigma tertentu yang digunakan di masyarakat tidak serta-merta berarti bahwa paradigma itu benar, tapi lebih disebabkan karena paradigma itu didukung oleh suatu kekuatan dan kekuasaan yang besar dan kuat. Paradigma yang dijajakan dan diiklankan dengan berulang-ulang sehingga “seperti benar.”
Fakih melihat bahwa ternyata ada beberapa aktivis sosial yang tanpa disadari menggunakan dasar teoritik dan visi ideologis yang bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkannya. Ini menunjukkan adanya suatu kelemahan teoritik dalam hal visi ideologis gerakan sosial yang sedang dikerjakannya.
Menurut Fakih, teori-teori pembangunan yang berkembang sebenarnya adalah kelanjutan dari proses kolonialisme yang terpental akibat gemuruh tuntutan berbagai pihak. Developmentalisme dilontarkan guna membendung arus sosialisme, sehingga sebenarnya ia tidak lain adalah kemasan baru kapitalisme.
Dalam praktiknya, pembangunan memang terlalu sering diartikan semata-mata sebagai pertumbuhan ekonomi, dan abai terhadap masalah keadilan, pemerataan, atau perlakuan manusiawi terhadap berbagai khazanah kebudayaan lokal. Segala sesuatu dilihat semata-mata dari perspektif material, termasuk pula manusia. Karena itu, tidak heran bila atas nama pembangunan penggusuran dilegalkan, atas nama stabilitas pembangunan darah rakyat dihalalkan, dan atas nama pembangunan rakyat dininabobokan dalam kabut kebodohan.
Sementara itu, globalisasi tidak lain adalah kelanjutan dari teori pembangunan yang mewarisi semangat hegemonik dan imperialis serta menjajah dengan culas. Dalam teori globalisasi, tiap negara didorong untuk berintegrasi dalam sistem ekonomi dunia. Globalisasi, yang titik awalnya ditandai dengan perjanjian internasional di bidang perdagangan yang dikenal dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), tidak lain adalah globalisasi kapitalisme yang menjadi perpanjangan tangan kelompok negara-negara maju, dengan antek-antek bernama IMF, WTO, atau World Bank. Dalam proses globalisasi itu sendiri sebenarnya terlihat dengan terang siapa yang diuntungkan dengan sistem tersebut: mereka adalah kelompok-kelompok perusahaan transnasional yang berasal dari negara-negara industri.
Fakih cukup berhasil menelanjangi ideologi teori-teori pembangunan dan globalisasi, sehingga kita semua, terutama para aktivis sosial, menjadi awas terhadap masalah ini. Hal ini penting artinya agar gerakan sosial yang sudah cukup banyak berakar dari bawah tidak sia-sia, hanya gara-gara tidak sadar dengan tirai ideologis yang menyelimutinya.
Beberapa karya lain adalah, “Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat,” lalu ada buku “Pergolakan Ideologi LSM Indonesia: Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial,” kemudian, “Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,” yang disempurnakan dengan judul baru, “Analisis Gender dan Transformasi Sosial.”
Untuk buku ini, aku punya kesan khusus bahwa Fakih adalah peletak dasar kajian gender di Indonesia. Fakih adalah pemikir, penulis dan ideolog jender berkeadilan. Buku ini lahir karena rendahnya pemahaman kesetaraan kelamin. Tetapi, alasan utamanya karena beberapa hal. Pertama, kata “jender” belum termasuk kata bahasa Indonesia, terbukti belum menjadi entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kedua, referensi kata itu tidak jelas karena bersifat abstrak. Ketiga, dalam kamus bahasa Inggris kata itu tidak jelas bedanya dengan kata “sex” yang mengacu pada pengategorian jenis kelamin. Meski ada beberapa penjelasan tentang makna kata itu, penjelasan itu tetap saja perlu interpretasi lebih lanjut. Contoh, Kathy Davis dalam The Gender of Power (1991) menjelaskan bahwa jender menunjuk pada relasi di mana pria dan wanita berinteraksi. Ann Oakley dalam Sex, Gender and Society (1972) mengartikan jender sebagai perbedaan tingkah laku antara pria dan wanita yang secara sosial dibangunkreasikan (constructed-created) oleh laki-laki dan wanita itu sendiri. Karena itu, jender adalah masalah budaya. Masih banyak penjelasan lain yang cenderung berbeda dan sulit diikuti karena sudut pandangnya tidak sama.
Menurut Fakih, jender dan sex pastilah berbeda. Sex adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan karena itu melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, pria adalah manusia berpenis, berjakala, bersperma, dan sejenisnya; sementara wanita adalah manusia yang memiliki alat reproduksi telur, bervagina, memiliki alat menyusui, dan sebagainya. Alat-alat itu secara biologis melekat pada wanita untuk selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat). Jender adalah pembagian kategori pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosiokultural. Misalnya, wanita secara sosiokultural dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan sebagainya; sedangkan pria dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut tidak kodrati. Karena itu tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Maka ada pria emosional, lemah lembut, dan sebagainya; atau kebalikannya ada wanita kuat, rasional, dan sebagainya. Dengan demikian, semua sifat yang dapat dipertukarkan antara wanita dengan pria dan yang dapat berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari satu kelas sosial ke lain kelas, merupakan jender.
Selebihnya, buku yang tak kalah menarik berjudul, “Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan Untuk Membangun Hak Asasi Manusia,” juga ditulisnya. Fakih juga secara serius membuat catatan, “World Reports 2000: Events of 1999, Human Rights Watch,” sewaktu aktif di Komnas HAM. Sedang beberapa buku kecil yang sampai ke pembaca adalah, “Landreform di Pedesaan,” dan “Pendidikan Popular.”
Kini Fakih telah hidup di sorga. Gagasan dan idenya tentang civil society, globalisasi dan HAM terbukti menginspirasi beberapa kalangan. Yang paling nyata adalah “kecemasannya akan nasib bangsa kita yang akan terjajah kembali oleh neoliberalisme.” Kemenangan SBY-Budiono pada pemilu 2009 menjelaskan bahwa nasib rakyat banyak akan makin sengsara dan paria akibat penjajah baru telah bersemayam dan dipilh rakyat. Kita tahu, Budiono adalah wakil terbaik dari ekonom madzab neoliberal yang sangat pro-pasar. Sedang SBY adalah “pelaksana utama” ideologi pasar yang anti rakyat miskin. Karena itu hari ini, pandangan Fakih masih diperlukan dan disebarkan. Dengan begitu, moga-moga Fakih tak makin menangis melihat bangsanya salah berulang kali menentukan pilihan.[]
No comments:
Post a Comment